PROVOKASI ADU DOMBA UMMAT ISLAM NUSANTARA
Oleh: Dr. Khairul Fuad & Askar Triwiyanto
Akhir-akhir ini semua media massa tanah air, baik media cetak maupun elektronik, diriuhkan dengan topik seputar perlakuan zalim rakyat Malaysia terhadap rakyat Indonesia yang berada di Malaysia sana. Dimulai dari kekalahan klaim Indonesia atas pulau Sipadan dan Ligitan, peristiwa Ambalat, lalu bergeser ke persoalan tak berkesudahan tentang TKI dan TKW yang dizalimi, disiksa, dan tak dibayar gaji. Masih ditambah lagi dengan pemukulan wasit karate Indonesia. Hampir seluruh media mempropagandakan semangat membela bangsa. Rakyat Indonesia pun terbakar.
Belum lagi usai keriuhan ini, muncul pula berita isteri seorang diplomat Indonesia yang diperlakukan tidak semestinya oleh RELA (sukarelawan yang membantu tugas polisi). Tindak-tanduk RELA yang dinilai sangat merugikan TKI inipun dikupas tuntas dengan penuh kebencian. Di tengah-tengah suasana panas ini, terbetik lagi kabar sembilan anggota RELA keturunan India memperkosa isteri seorang TKI. Disusul lagi dengan berita penggeledahan rumah seorang ketua PPI-UKM yang dilakukan RELA begitu kasar. Lalu, kasus lagu "Rasa Sayang-sayange" semakin menambah gejolak. Rakyat Indonesia semakin terbakar, semangat membela bangsa pun meledak dimana-mana.
Semua informasi ini, sebagian besar bersumber dari media massa. Beberapa warga Senayan dan para pemerhati memberi komentar pedas dengan semangat bela bangsa yang bak menyiram bensin ke pembakaran. Dari komentar-komentar yang berserakan di berbagai media, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa umumnya para komentator tersebut beranggapan bahwa yang namanya rakyat Malaysia itu adalah warga Melayu dan beragama Islam. Nah, disinilah kekeliruan yang dimanfaatkan oleh para provokator. Padahal, rakyat Malaysia itu multi etnis yang terdiri dari "Melayu", Cina, India, dan pribumi Sabah-Sarawak.
Sama seperti Indonesia beberapa waktu lalu, rakyat Malaysia memperkenalkan istilah pribumi dan non-pribumi. Pribumi Malaysia terbagi dua; Melayu dan non-Melayu. Siapa saja beragama Islam, termasuk dalam katagori Melayu. Jadi, Melayu itu identik dengan muslim. Melayu (muslim) di Malaysia adalah yang terbesar, kira-kira berjumlah 50%. Berikutnya adalah keturunan Cina (30%), dan selebihnya adalah India dan pribumi non-Melayu.
Ada yang aneh dan janggal dalam pemberitaan di media massa kita. Provokasi sengit dan tajam tertuju ke satu arah seolah-olah Malaysia itu hanya dihuni oleh orang Melayu sehingga menggiring opini masyarakat dan membangkitkan kebencian terhadap Melayu. Semua kesalahan ditimpakan kepada si Melayu. Padahal jumlah Melayu berkisar setengah penduduk Malaysia saja.
Coba cermati kembali berita-berita penzaliman TKI dan TKW. Siapakah majikan mereka? Umumnya majikan non-Melayu yang menyiksa PRT kita, termasuk yang tak membayar gaji TKI dan PRT. Demikian juga kezaliman lainnya. Non-Melayu yang makan nangka, si Melayu yang kena getahnya.
Pertengahan puasa lalu, ketika penulis menumpang bus ke bandara Kuala Lumpur dalam perjalanan pulang ke Indonesia, bersebelahan duduk dengan seorang TKW kita yang bekerja sebagai PRT di keluarga non-Melayu selama 4 tahun. Ia ingin pulang kampung dan tak ingin kembali, tetapi ada yang masih mengganjal di benaknya. Gajinya, sekitar 8 juta rupiah, ditahan oleh sang majikan dengan tujuan agar si pembantu ini kembali lagi bekerja padanya. Sementara sang PRT sudah tak tahan lagi karena selama bekerja tak diperkenankan berhubungan dengan orang luar selain keluarga majikan. Benar-benar hidup terpenjara.
Kisah-kisah seperti ini cukup banyak ditemui dan umumnya bermajikan non-Melayu. Di sebalik itu, tak sedikit kisah sang majikan Melayu yang ditipu oleh PRT dari Indonesia. Beritanya tak masuk surat kabar karena majikan Melayu cuma mengurut dada saja, pasrah ditipu oleh saudara sendiri. Kebanyakan PRT kita bernasib lebih beruntung bila bermajikan Melayu karena diperlakukan manusiawi, bahkan dianggap sebagai bagian dari keluarga. Informasi ini nampaknya tak dimiliki oleh para komentator di media kita.
Cukup menarik mengenal sejarah Melayu Malaysia. Penduduk Nusantara ini, termasuk Indonesia dan Malaysia, terdiri dari berbilang suku dan masing-masing memiliki kampung halaman asalnya. Dalam sejarah panjangnya sejak dahulu kala, suku-suku ini bertebaran ke seluruh pelosok Nusantara dan menetap di perantauan, membentuk komunitasnya dan masih mempertahankan ciri budayanya walau kini agak kabur bila dibanding dengan budaya asalnya karena pengaruh dan kondisi lingkungan barunya.
Suku Jawa, Bugis, Banjar, Bawean, Minangkabau, Melayu Sumatera, termasuk Mandailing dan Aceh, boleh jadi penggabungan semuanya merupakan mayoritas Melayu di Malaysia. Bahkan, sejarah telah mencatat bahwa hampir semua raja-raja kesultanan Melayu berasal dari Bukit Siguntang Mahameru yang berada di daerah Palembang. Sultan Johor sendiri adalah keturunan Bugis. Daerah kesultanan Johor didominasi oleh dua suku besar, Bugis dan Jawa. Begitu ramainya suku Jawa di Johor hingga mewarnai budaya masyarakatnya. Tidak hanya bahasa Jawa dan gendingnya yang masih sering terdengar, jaran kepang juga dipakai sebagai icon negeri Johor.
Negeri sembilan dikenal sebagai basisnya masyarakat keturunan Minangkabau. Bahasa dan adat istiadatnya, termasuk rumah dan pakaian adat, musik dan tari, masih cukup kental warna Minangkabaunya. Masyarakat negeri ini memiliki ikatan batin yang kuat dengan kampung asalnya di Sumatera Barat sana. Itu sebab keduanya menjalin negeri kembar. Setiap pelantikan Gubernur Sumatera Barat mestilah dihadiri oleh Menteri Besar dan utusan Sultan Negeri Sembilan. Begitu juga sebaliknya.
Mantan Perdana Menteri Tun Abdul Razak (Alm), dan kini anaknya Najib menjabat sebagai Timbalan PM Malaysia adalah keturunan bangsawan Bugis. Sewaktu menerima anugerah Doctor Honoris-causa di Universitas Hasanuddin, Najib menyebutkan kesamaannya dengan Jusuf Kalla; sama-sama wakil, yang satu wakil presiden RI dan satu lagi Timbalan PM Malaysia, sama-sama keturunan Bugis, dan sama-sama beristerikan keturunan Minangkabau.
Tak ada yang salah kalau Melayu (muslim) Malaysia menganggap bangsa Indonesia adalah saudaranya, bukan hanya serumpun, tetapi juga memang satu keturunan yang dekat dan memiliki ikatan batin yang kuat. Kalau Indonesia berperang melawan Malaysia, tahukah anda siapa yang akan berperang? Tentara Malaysia didominasi oleh Melayu yang terdiri dari suku-suku yang saya sebutkan di atas. Artinya, itu merupakan pertempuran saling bunuh antara Jawa lawan Jawa, Bugis lawan Bugis, Minang lawan Minang, Aceh lawan Aceh, Mandailing lawan Mandailing, Melayu lawan Melayu. Tak salah kalau disebut sebagai perang saudara sesama muslim Melayu.
Adalah tindakan bijak kalau seluruh potensi yang ada digunakan untuk mendesak kedua pemerintah agar memperbaharui hubungan bilateralnya terutama yang memberi perlindungan tegas guna mereduksi, sampai ke titik nol, kezaliman dan kriminal yang dilakukan antara kedua belah pihak warganya. Bagaimanapun juga, keberadaan TKI dan TKW kita di Malaysia bertujuan untuk saling menguntungkan dan mensejahterakan.
Layaklah timbul kecurigaan bahwa ada grand design terselubung dibalik provokasi habis-habisan di media massa, baik di Malaysia maupun Indonesia. Sulit disangkal bahwa ada pihak-pihak yang berkepentingan untuk melemahkan ummat Islam di kedua negara ini demi tujuan-tujuan tertentu.
Malaysia melindungi rakyat pribumi dan agama Islam melalui konstitusinya. Agama Islam adalah agama negara yang dilindungi undang-undang. Sementara, walaupun tak dilindungi undang-undang, Islam adalah anutan mayoritas penduduk Indonesia. Wajar dan demokratis sekali kalau ummat Islam Indonesia lebih berperan dan berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Rasanya sulit dan musykil mengubah keadaan di kedua negara ini secara wajar. Jalan satu-satunya adalah memprovokasi adu domba meminjam cara penjajah Belanda. Peluang yang mungkin adalah mencari kasus-kasus yang dapat dijadikan alasan untuk membangkitkan sentimen kebangsaan. Itulah yang terjadi sekarang ini, baik di Indonesia maupun di Malaysia. Bukan tak berdasar kalau mencurigai media massa telah dijadikan alat provokasi yang efektif.
Masih segar dalam ingatan kita mengapa seluruh komponen organisasi Islam di Indonesia yang dipelopori oleh MUI, NU, dan Muhammadiyah mengadakan aksi demonstrasi sejuta ummat mendukung RUU Pornograpi. Apa alasannya? Karena suara mereka yang mewakili mayoritas rakyat terlalu minim dimuat dalam media massa sementara suara segelintir penentang RUU Pornograpi mendapat tempat dan ruang akomodasi yang intens dan berkesinambungan. Jelas dan ketara sekali indikasinya ke arah mana keberpihakan kebanyakan media massa kita.
Di Malaysia sendiri, media massanya yang dikuasai oleh non-Melayu dan muslim sekuler dikontrol dengan ketat oleh pemerintah. Sejauh berita yang ditampilkan tidak membahayakan posisi partai berkuasa, semua sah-sah saja. Berita-berita tentang kriminal yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia, walaupun dibesar-besarkan, dianggap sebagai berita biasa. Peluang ini dimanfaatkan untuk membangkitkan sentimen kebencian dengan mendramatisir kejahatan dan keburukan TKI dan TKW kita, juga untuk menekan pemerintah Malaysia dan menggiringnya ke arah tujuan yang diinginkan.
Taklah terlalu berlebihan menebak senario hasil akhir dari provokasi ini. Bila Malaysia dan Indonesia berperang, pastilah negara-negara kuat akan turut campur; sebagian membantu Indonesia dan sebagian lain membantu Malaysia. Senjata-senjata dan alat perang canggih akan dicurahkan ke Malaysia dan Indonesia. Semuanya hutang, tak ada yang gratis. Setelah keduanya lumpuh dan hancur-lebur akibat perang, lalu didamaikan. Malaysia dan Indonesia akan berhutang budi dan uang yang sangat luar biasa besarnya. Imbalannya? Sumber-sumber alam dan politik pemerintahan di kedua negara pecundang ini akan dikuasai dan dikendalikan oleh negara-negara yang telah berjasa membantu perang.
Kitapun menjadi bangsa kerbau dicucuk hidung. Dengan alasan demokrasi dan keadilan, Malaysia dan Indonesia dipaksa mengamandemen konstitusinya. Sejarah barupun dimulai. Sang provokator dan sindikatnya, di kedua negara, tampil ke depan memegang kendali kekuasaan. Lalu, ummat Islam di kedua negara pecundang ini akan menjadi budak hina dinegerinya sendiri. Tangis penyesalanpun bermula. Apa daya, nasi telah menjadi bubur.
Alangkah naifnya.
Akhir-akhir ini semua media massa tanah air, baik media cetak maupun elektronik, diriuhkan dengan topik seputar perlakuan zalim rakyat Malaysia terhadap rakyat Indonesia yang berada di Malaysia sana. Dimulai dari kekalahan klaim Indonesia atas pulau Sipadan dan Ligitan, peristiwa Ambalat, lalu bergeser ke persoalan tak berkesudahan tentang TKI dan TKW yang dizalimi, disiksa, dan tak dibayar gaji. Masih ditambah lagi dengan pemukulan wasit karate Indonesia. Hampir seluruh media mempropagandakan semangat membela bangsa. Rakyat Indonesia pun terbakar.
Belum lagi usai keriuhan ini, muncul pula berita isteri seorang diplomat Indonesia yang diperlakukan tidak semestinya oleh RELA (sukarelawan yang membantu tugas polisi). Tindak-tanduk RELA yang dinilai sangat merugikan TKI inipun dikupas tuntas dengan penuh kebencian. Di tengah-tengah suasana panas ini, terbetik lagi kabar sembilan anggota RELA keturunan India memperkosa isteri seorang TKI. Disusul lagi dengan berita penggeledahan rumah seorang ketua PPI-UKM yang dilakukan RELA begitu kasar. Lalu, kasus lagu "Rasa Sayang-sayange" semakin menambah gejolak. Rakyat Indonesia semakin terbakar, semangat membela bangsa pun meledak dimana-mana.
Semua informasi ini, sebagian besar bersumber dari media massa. Beberapa warga Senayan dan para pemerhati memberi komentar pedas dengan semangat bela bangsa yang bak menyiram bensin ke pembakaran. Dari komentar-komentar yang berserakan di berbagai media, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa umumnya para komentator tersebut beranggapan bahwa yang namanya rakyat Malaysia itu adalah warga Melayu dan beragama Islam. Nah, disinilah kekeliruan yang dimanfaatkan oleh para provokator. Padahal, rakyat Malaysia itu multi etnis yang terdiri dari "Melayu", Cina, India, dan pribumi Sabah-Sarawak.
Sama seperti Indonesia beberapa waktu lalu, rakyat Malaysia memperkenalkan istilah pribumi dan non-pribumi. Pribumi Malaysia terbagi dua; Melayu dan non-Melayu. Siapa saja beragama Islam, termasuk dalam katagori Melayu. Jadi, Melayu itu identik dengan muslim. Melayu (muslim) di Malaysia adalah yang terbesar, kira-kira berjumlah 50%. Berikutnya adalah keturunan Cina (30%), dan selebihnya adalah India dan pribumi non-Melayu.
Ada yang aneh dan janggal dalam pemberitaan di media massa kita. Provokasi sengit dan tajam tertuju ke satu arah seolah-olah Malaysia itu hanya dihuni oleh orang Melayu sehingga menggiring opini masyarakat dan membangkitkan kebencian terhadap Melayu. Semua kesalahan ditimpakan kepada si Melayu. Padahal jumlah Melayu berkisar setengah penduduk Malaysia saja.
Coba cermati kembali berita-berita penzaliman TKI dan TKW. Siapakah majikan mereka? Umumnya majikan non-Melayu yang menyiksa PRT kita, termasuk yang tak membayar gaji TKI dan PRT. Demikian juga kezaliman lainnya. Non-Melayu yang makan nangka, si Melayu yang kena getahnya.
Pertengahan puasa lalu, ketika penulis menumpang bus ke bandara Kuala Lumpur dalam perjalanan pulang ke Indonesia, bersebelahan duduk dengan seorang TKW kita yang bekerja sebagai PRT di keluarga non-Melayu selama 4 tahun. Ia ingin pulang kampung dan tak ingin kembali, tetapi ada yang masih mengganjal di benaknya. Gajinya, sekitar 8 juta rupiah, ditahan oleh sang majikan dengan tujuan agar si pembantu ini kembali lagi bekerja padanya. Sementara sang PRT sudah tak tahan lagi karena selama bekerja tak diperkenankan berhubungan dengan orang luar selain keluarga majikan. Benar-benar hidup terpenjara.
Kisah-kisah seperti ini cukup banyak ditemui dan umumnya bermajikan non-Melayu. Di sebalik itu, tak sedikit kisah sang majikan Melayu yang ditipu oleh PRT dari Indonesia. Beritanya tak masuk surat kabar karena majikan Melayu cuma mengurut dada saja, pasrah ditipu oleh saudara sendiri. Kebanyakan PRT kita bernasib lebih beruntung bila bermajikan Melayu karena diperlakukan manusiawi, bahkan dianggap sebagai bagian dari keluarga. Informasi ini nampaknya tak dimiliki oleh para komentator di media kita.
Cukup menarik mengenal sejarah Melayu Malaysia. Penduduk Nusantara ini, termasuk Indonesia dan Malaysia, terdiri dari berbilang suku dan masing-masing memiliki kampung halaman asalnya. Dalam sejarah panjangnya sejak dahulu kala, suku-suku ini bertebaran ke seluruh pelosok Nusantara dan menetap di perantauan, membentuk komunitasnya dan masih mempertahankan ciri budayanya walau kini agak kabur bila dibanding dengan budaya asalnya karena pengaruh dan kondisi lingkungan barunya.
Suku Jawa, Bugis, Banjar, Bawean, Minangkabau, Melayu Sumatera, termasuk Mandailing dan Aceh, boleh jadi penggabungan semuanya merupakan mayoritas Melayu di Malaysia. Bahkan, sejarah telah mencatat bahwa hampir semua raja-raja kesultanan Melayu berasal dari Bukit Siguntang Mahameru yang berada di daerah Palembang. Sultan Johor sendiri adalah keturunan Bugis. Daerah kesultanan Johor didominasi oleh dua suku besar, Bugis dan Jawa. Begitu ramainya suku Jawa di Johor hingga mewarnai budaya masyarakatnya. Tidak hanya bahasa Jawa dan gendingnya yang masih sering terdengar, jaran kepang juga dipakai sebagai icon negeri Johor.
Negeri sembilan dikenal sebagai basisnya masyarakat keturunan Minangkabau. Bahasa dan adat istiadatnya, termasuk rumah dan pakaian adat, musik dan tari, masih cukup kental warna Minangkabaunya. Masyarakat negeri ini memiliki ikatan batin yang kuat dengan kampung asalnya di Sumatera Barat sana. Itu sebab keduanya menjalin negeri kembar. Setiap pelantikan Gubernur Sumatera Barat mestilah dihadiri oleh Menteri Besar dan utusan Sultan Negeri Sembilan. Begitu juga sebaliknya.
Mantan Perdana Menteri Tun Abdul Razak (Alm), dan kini anaknya Najib menjabat sebagai Timbalan PM Malaysia adalah keturunan bangsawan Bugis. Sewaktu menerima anugerah Doctor Honoris-causa di Universitas Hasanuddin, Najib menyebutkan kesamaannya dengan Jusuf Kalla; sama-sama wakil, yang satu wakil presiden RI dan satu lagi Timbalan PM Malaysia, sama-sama keturunan Bugis, dan sama-sama beristerikan keturunan Minangkabau.
Tak ada yang salah kalau Melayu (muslim) Malaysia menganggap bangsa Indonesia adalah saudaranya, bukan hanya serumpun, tetapi juga memang satu keturunan yang dekat dan memiliki ikatan batin yang kuat. Kalau Indonesia berperang melawan Malaysia, tahukah anda siapa yang akan berperang? Tentara Malaysia didominasi oleh Melayu yang terdiri dari suku-suku yang saya sebutkan di atas. Artinya, itu merupakan pertempuran saling bunuh antara Jawa lawan Jawa, Bugis lawan Bugis, Minang lawan Minang, Aceh lawan Aceh, Mandailing lawan Mandailing, Melayu lawan Melayu. Tak salah kalau disebut sebagai perang saudara sesama muslim Melayu.
Adalah tindakan bijak kalau seluruh potensi yang ada digunakan untuk mendesak kedua pemerintah agar memperbaharui hubungan bilateralnya terutama yang memberi perlindungan tegas guna mereduksi, sampai ke titik nol, kezaliman dan kriminal yang dilakukan antara kedua belah pihak warganya. Bagaimanapun juga, keberadaan TKI dan TKW kita di Malaysia bertujuan untuk saling menguntungkan dan mensejahterakan.
Layaklah timbul kecurigaan bahwa ada grand design terselubung dibalik provokasi habis-habisan di media massa, baik di Malaysia maupun Indonesia. Sulit disangkal bahwa ada pihak-pihak yang berkepentingan untuk melemahkan ummat Islam di kedua negara ini demi tujuan-tujuan tertentu.
Malaysia melindungi rakyat pribumi dan agama Islam melalui konstitusinya. Agama Islam adalah agama negara yang dilindungi undang-undang. Sementara, walaupun tak dilindungi undang-undang, Islam adalah anutan mayoritas penduduk Indonesia. Wajar dan demokratis sekali kalau ummat Islam Indonesia lebih berperan dan berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Rasanya sulit dan musykil mengubah keadaan di kedua negara ini secara wajar. Jalan satu-satunya adalah memprovokasi adu domba meminjam cara penjajah Belanda. Peluang yang mungkin adalah mencari kasus-kasus yang dapat dijadikan alasan untuk membangkitkan sentimen kebangsaan. Itulah yang terjadi sekarang ini, baik di Indonesia maupun di Malaysia. Bukan tak berdasar kalau mencurigai media massa telah dijadikan alat provokasi yang efektif.
Masih segar dalam ingatan kita mengapa seluruh komponen organisasi Islam di Indonesia yang dipelopori oleh MUI, NU, dan Muhammadiyah mengadakan aksi demonstrasi sejuta ummat mendukung RUU Pornograpi. Apa alasannya? Karena suara mereka yang mewakili mayoritas rakyat terlalu minim dimuat dalam media massa sementara suara segelintir penentang RUU Pornograpi mendapat tempat dan ruang akomodasi yang intens dan berkesinambungan. Jelas dan ketara sekali indikasinya ke arah mana keberpihakan kebanyakan media massa kita.
Di Malaysia sendiri, media massanya yang dikuasai oleh non-Melayu dan muslim sekuler dikontrol dengan ketat oleh pemerintah. Sejauh berita yang ditampilkan tidak membahayakan posisi partai berkuasa, semua sah-sah saja. Berita-berita tentang kriminal yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia, walaupun dibesar-besarkan, dianggap sebagai berita biasa. Peluang ini dimanfaatkan untuk membangkitkan sentimen kebencian dengan mendramatisir kejahatan dan keburukan TKI dan TKW kita, juga untuk menekan pemerintah Malaysia dan menggiringnya ke arah tujuan yang diinginkan.
Taklah terlalu berlebihan menebak senario hasil akhir dari provokasi ini. Bila Malaysia dan Indonesia berperang, pastilah negara-negara kuat akan turut campur; sebagian membantu Indonesia dan sebagian lain membantu Malaysia. Senjata-senjata dan alat perang canggih akan dicurahkan ke Malaysia dan Indonesia. Semuanya hutang, tak ada yang gratis. Setelah keduanya lumpuh dan hancur-lebur akibat perang, lalu didamaikan. Malaysia dan Indonesia akan berhutang budi dan uang yang sangat luar biasa besarnya. Imbalannya? Sumber-sumber alam dan politik pemerintahan di kedua negara pecundang ini akan dikuasai dan dikendalikan oleh negara-negara yang telah berjasa membantu perang.
Kitapun menjadi bangsa kerbau dicucuk hidung. Dengan alasan demokrasi dan keadilan, Malaysia dan Indonesia dipaksa mengamandemen konstitusinya. Sejarah barupun dimulai. Sang provokator dan sindikatnya, di kedua negara, tampil ke depan memegang kendali kekuasaan. Lalu, ummat Islam di kedua negara pecundang ini akan menjadi budak hina dinegerinya sendiri. Tangis penyesalanpun bermula. Apa daya, nasi telah menjadi bubur.
Alangkah naifnya.
Komentar